Minggu, 18 April 2010

Megawati dan Isu Regenerasi

SEBAGAI partai besar yang cukup berumur, regenerasi di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan menarik dicermati. Apalagi pada saat kongres banteng moncong putih bulan April 2010 ini. Pertanyaannya, mungkinkah ada ketua umum baru, sebagai pengganti Megawati Soekarnoputeri?

Barangkali banyak orang di luar partai berharap, demi kepentingan regenerasi partai dan peremajaan kepemimpinan nasional, bakal muncul sosok muda, menggantikan posisi Mega yang sudah tiga periode memimpin. Tetapi kini, tampaknya, harapan ini masih sulit dipenuhi. Ada setidaknya tiga alasan yang mendasarinya.


Pertama, bagaimanapun sosok Mega yang kharismatis masih dibutuhkan sebagai figur pemersatu partai (solidarity maker). Tanpa perekat yang kharismatis, partai rentan dilanda konflik internal akibat silang kepentingan yang tajam. Figur Mega, sebagai penggalang solidaritas, inilah yang sulit digantikan tokoh lainnya. Lebih-lebih tokoh muda yang rekam jejaknya dalam dinamika partai masih minim.

Kedua, Mega memiliki kedekatan historis dan emosional dengan PDI Perjuangan. Ia menjadi simbol perlawanan wong cilik dan partai dalam menghadapi gempuran rezim otoriter Orde Baru. Bahkan, saking dekatnya hubungan itu, boleh dikata PDI Perjuangan identik dengan Mega dan Mega identik dengan PDI Perjuangan. Tanpa inisiatif pribadi Mega untuk menolak dicalonkan kembali sebagai ketua umum, nyaris tak ada kader yang mampu menandingi posisi istimewanya.

Ketiga, aspirasi jajaran struktural partai, hampir di segala tingkatan, masih kuat menginginkan Mega kembali memimpin. Selama Mega masih ada, mereka tidak melihat ada sosok alternatif –berasal dari garis keturunan Bung Karno sekalipun— yang bisa menggantikan Mega. Bahkan, Taufik Kiemas dan Puan Maharani, yang masing-masing suami dan puteri kandung Mega, juga dipandang belum bisa menggantikan posisi Mega sebagai pemimpin dan ibu partai.

Solusi Teraman

Lantas, bagaimana menjamin berjalannya regenerasi partai, namun tetap mengakomodasi realitas internal dan aspirasi konstituen tersebut? Dalam lingkungan kepemimpinan tradisional atau kharismatis, regenerasi pemimpin agaknya memang akan lebih minim gejolak jika memanfaatkan kharisma sang pemimpin itu sendiri, yakni Mega.

Maka, solusi yang teraman barangkali ialah: sembari semakin mengurangi perannya, Mega dapat menyiapkan bakal calon penggantinya dalam posisi pelaksana kepemimpinan sehari-hari. Skenario ini bisa ditempuh dengan cara Mega tetap menjadi ketua umum, sementara bakal calon penggantinya, Puan Maharani misalnya, sebagai ketua pelaksana harian atau wakil ketua umum. Ini mirip yang dilakukan Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, di mana Tjahjo Kumolo tetap ketua fraksi, sedangkan Puan menjadi ketua I.

Pilihan kedua, Mega masih ketua umum, tapi menempatkan beberapa tokoh muda untuk dipromosikan sebagai bakal calon penggantinya pada masa mendatang. Misalnya Puan sebagai ketua I dan Puti Guntursoekarno sebagai ketua II. Ini jika Mega bersedia membuka peluang yang relatif sama bagi kedua cucu Bung Karno itu –yang kini sama-sama menjadi anggota legislatif— untuk membuktikan diri kepada konstituen dan publik: siapa di antara mereka yang lebih memiliki kapabilitas dan akseptabilitas untuk memimpin partai ke depan.

Bahkan, sebenarnya Mega dapat saja mempromosikan kader potensial, di luar garis keturunan Bung Karno, sebagai alternatif bakal calon penggantinya sebagai ketua umum. Akan tetapi, pilihan ini tampaknya cenderung sulit dilakukan sekarang. Ini mengingat keturunan Bung Karno secara objektif masih diinginkan konstituen partai dan dibutuhkan sebagai faktor pemersatu maupun penarik massa ketika pemilu.

Partai Modern

Sebagai organisasi politik yang berkehendak menuju format partai modern dan terbuka, PDI Perjuangan idealnya memang membuka peluang yang sama bagi semua kadernya untuk dapat maju memimpin partai. Walhasil, partai tidak lagi menggantungkan diri kepada aspek genealogis (keturunan), ataupun kharisma semata, dalam menentukan pemimpin puncaknya.

Namun, guna menuju ke tataran yang diidealisasikan itu, tentunya memerlukan waktu dan proses pendewasaan yang cukup panjang. Pemunculan tokoh yang masih memiliki kaitan darah dengan Bung Karno, namun berasal dari generasi ketiga dan berpendidikan tinggi tersebut (Puan dan Puti, serta belakangan disusul Prananda Prabowo, anak Mega dari suami sebelumnya), kiranya bisa dipandang sebagai era transisi, untuk akhirnya bisa mengantarkan PDI Perjuangan menjadi partai nasionalis yang betul-betul modern dan terbuka.

Dalam konteks ini, memang dibutuhkan kesadaran bahwa menjadi seorang nasionalis atau Soekarnois tidak berarti harus berasal dari keturunan Bung Karno. Karena merujuk terminologi Ralp Linton (http://en.wikipedia.org/wiki/Ascribed_status), yang pertama merupakan kondisi yang terbuka (achieved status) dan bisa diraih oleh siapapun –antara lain dengan belajar atau mengikuti kaderisasi—, sementara yang kedua berkaitan dengan faktor takdir (ascribed status) yang merupakan wilayah prerogatif Tuhan.

Sebagai partai modern, cepat atau lambat, tentu saja PDI Perjuangan harus meminimalisasi pola kepemimpinan kharismatis yang selama ini menjadi ciri khasnya. Selanjutnya, kepemimpinan partai akan menuju pola yang lebih rasional dan kolegial.

Kepemimpinan kharismatis, menurut Max Weber, menunjuk adanya sifat tertentu pada diri seseorang, yang karena sifatnya ini ia dipandang luar biasa dan berkemampuan khas di atas rata-rata manusia umumnya (Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, 1978). Karena itulah logis jika kepemimpinan kharismatis cenderung sulit melakukan regenerasi, sebab sulit menemukan pengganti yang setara, meski regenerasi itu secara alamiah merupakan keniscayaan, akibat umur manusia yang terbatas.

Sementara kepemimpinan rasional, masih meminjam tipologi Weber, antara lain ditandai oleh tingkat partisipasi konstituen yang lebih tinggi dalam pembuatan keputusan dan gaya kepemimpinan yang tidak lagi berpusat kepada satu individu tertentu, melainkan kepada mekanisme yang diatur secara baku dan demokratis.

Sedangkan sebagai partai terbuka, PDI Perjuangan akan menuju tipologi catch-all party, yang berusaha meraih dukungan seluas-luasnya demi memenangkan kompetisi pemilu (Otto Kirchheimer dalam Comparative Politics, Notes and Readings,1968). Di sinilah partai tak boleh lagi terjebak dalam basis historis fusi yang sempit, dikotomi sekuler-religius, atau klaim-klaim sejenis yang justru membatasi ruang geraknya.

Sebaliknya, partai harus melakukan ekspansi berkelanjutan, melampaui batas-batas pendukung tradisionalnya: meraup siapapun WNI yang hendak bergabung atau mendukung, sejauh setuju dengan program yang akan diperjuangkannya. Walhasil, partai akan lebih berorientasi program, dan karena itu ideologi pun wajib diterjemahkan ke dalam program kerja yang akan ditindaklanjuti oleh serangkaian aksi nyata. (Jarot Doso Purwanto, Staf Ahli Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar