Sabtu, 16 Januari 2010

Akbar S Ahmed: Membangun Jembatan, Bukan Menghancurkan (2)


Oleh: Dian Basuki



KEADILAN itu, kata Ahmed, berlaku bagi kaum muslim sendiri maupun bukan-muslim. Di internal kaum muslim sendiri, Ahmed pernah memprihatinkan nasib kebanyakan intelektual muslim di beberapa negara Asia. Di masa lampau, sebagian dari mereka --seperti Abdus Salam dan Fazlur Rahman di Pakistan-- dikucilkan, dibungkam, atau diasingkan. 



Secara khusus, ia menyoroti arah Pakistan yang berubah dari apa yang diimpikan oleh pendirinya, Muhammad Ali Jinnah. Impiannya akan Pakistan sebagai negara Islam modern mengalami tekanan hebat setelah Jenderal Zia-ul-Haq mengambil alih kekuasaan pada 1977 melalui kudeta militer dan meluncurkan kampanye untuk "mengislamkan" Pakistan.

Lantaran itulah, Ahmed berikhtiar memotret Jinnah dengan menggarap beberapa proyek pada 1990-an, yang disebut Jinnah Quartet. Proyek ini meliputi pembuatan film tentang Ali Jinnah (yang diluncurkan dalam bahasa Inggris dan Urdu pada 2000); sebuah dokumenter televisi, Mr. Jinnah-”The Making of Pakistan (diluncurkan pada 1997); sebuah buku akademis berjudul Jinnah, Pakistan and Islamic Identity: The Search for Saladin (diterbitkan oleh Routledge pada 1997); dan sebuah novel grafis yang diterbitkan oleh Oxford University Press pada 1997.

Jinnah Quartet berusaha menjawab pertanyaan krusial tentang masyarakat muslim yang sering diajukan oleh banyak sarjana dan intelektual--muslim maupun non-muslim, yakni "Dapatkah negara-negara muslim menghasilkan pemimpin yang moderat? Dapatkah kaum muslim memiliki pemimpin yang memperhatikan hak asasi manusia, hak-hak perempuan, hak-hak minoritas, dan kesucian hukum, dan yang sanggup memimpin bangsa mereka ke komunitas internasional dengan terhormat?" 

Orang awam memiliki sedikit gagasan mengenai model demokratik yang khas masyarakat muslim, sebab para sarjana dan intelektual yang mampu mengartikulasikan visi ini dibungkam. Pembungkaman ini, kata Ahmed, telah memutuskan warga muslim dari bagian diri mereka sendiri. Di satu sisi, ia mengecam perilaku para penguasa politik dan pemuka masyarakat yang mengatasnamakan agama untuk membuat para sarjana dan intelektual menutup mulut. Di sisi lain ia menyayangkan sebagian dari kaum intelektual ini tidak berani bersikap kritis.

Ahmed membandingkan bagaimana sarjana-sarjana hebat dari masa lampau sangat menghormati penekanan Islam atas pengetahuan dengan terus berusaha mencari kebenaran ketimbang takluk pada tekanan penguasa. Ibn Khaldun, sejarawan dari abad ke-14, petualang dan penulis Ibnu Batutah dari zaman yang sama, Abu Raihan Muhammad Al-Beruni dari abad ke-11; mereka membuat para penguasa tidak nyaman, namun mereka melanjutkan tradisi Islam untuk mengejar pengetahuan bagi kemanfaatan semua.

Dalam pandangannya mengenai Islam dan Barat, Ahmed melihat perlunya perubahan cara pandang. Bila sebelumnya, selama ratusan tahun Barat memperlakukan Islam sebagi "yang lain" atau sebagai "ada di sana" --karena sebagian besar memang tinggal di Asia dan Afrika, kini pandangan yang sederhana ini menjadi rumit dengan kehadiran orang-orang muslim di Barat lebih dari 10 juta orang. Sekitar 5-6 juta tinggal di Eropa dan sekitar 4-5 juta menetap di Amerika.

Bahwa kaum muslim tinggal di Barat, menurut Ahmed, secara teologis ada dalam harmoni dengan sikap Al-Quran. Berkali-kali Al-Quran menegaskan bahwa domain Tuhan tidak dibatasi oleh Timur atau Barat --Tuhan ada di mana-mana. "Jadi, kita perlu frame of reference yang baru," kata Ahmed.

Tak bisa lagi ada dikotomi Islam versus Barat; yang ada ialah Islam dan Barat atau Islam di Barat. Secara teologis barangkali tidak ada kendala bagi muslim di Barat, tapi kendala sosiologis dan politik agaknya sukar dihilangkan.

Di usianya yang sudah senja, Ahmed kini mengerjakan studi mengenai pengalaman komunitas muslim dalam masyarakat Amerika. Ia pun tengah mempersiapkan buku terkait isu ini, American Identity and the Challenge of Islam.

Upaya keras Ahmed untuk menjembatani kaum muslim dan Kristen dilakukan, antara lain, dengan mengadakan dialog keliling bersama Judea Pearl, ayah Daniel Pearl, reporter Wall Street Journal yang dibunuh oleh teroris di Pakistan beberapa tahun lalu. Ia mengaku sangat sulit saat pertama kali memulai dialog yang terbuka untuk publik itu, sebab ia menyadari bahwa ia merasa dilihat sebagai simbol peradaban yang menghasilkan pembunuh Daniel. Namun, kemauan baik Judea maupun Ahmed membuat dialog itu lancar dan berlangsung berkali-kali di berbagai kota di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada dengan dihadiri ratusan orang setiap kali berlangsung.

Dialog itu pula yang meredakan ketegangan antara mahasiswa Yahudi dan muslim di Duke University, Amerika Serikat. "Usai dialog, mereka ngobrol dengan ramah dan diakhiri dengan makan malam bersama," kata Ahmed. Namun, di Pakistan ia memperoleh ancaman karena dialog itu.

Kata "dialog" itu sendiri, Ahmed mengakui, terdengar retoris dan klise. Dua orang berbicara, pulang ke rumah, dan tidak ada sesuatu yang terjadi. Tapi dialoglah, kata Ahmed, yang membawa kepada pemahaman satu sama lain. "Melalui dialog saya bisa mengetahui penderitaan, sejarah, dan tradisi orang-orang ini," kata Ahmed. "Dari dialog kami melihat kemungkinan persahabatan dan persahabatan mengubah setiap hal." [] Sumber: Ruang Baca, Koran Tempo, Edisi 31 Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar