Sabtu, 16 Januari 2010

Akbar S Ahmed: Membangun Jembatan, Bukan Menghancurkan (1)

Oleh: Dian Basuki


PEMIKIR muslim terkemuka saat ini yang tak letih mengajak berbagai pihak membangun saling pengertian, bukan menebarkan kecurigaan. Dia baru saja menerima Abraham Joshua Herschel-Martin Luther King, Jr. Award for Interfaith Activism.

Akbar Ahmed tengah berada di sebuah kelas di American University, dan ia baru saja mulai mengajar, beberapa mil dari Pentagon. Begitu kabar mengenai serangan 11 September 2001 ke World Trade Center itu mulai datang, Ahmed melihat wajah terkejut dan ketakutan di wajah-wajah mahasiswanya yang masih muda-muda.



"Saat itu, saya menyadari dengan sangat jelas, tanpa keraguan atau ambiguitas, bahwa tiba saatnya tantangan terbesar bagi saya, baik dalam pengertian pribadi sebagai seorang muslim maupun sarjana di kampus yang mengajarkan Islam sebagai subyek," kata Ahmed dalam wawancaranya dengan Mark O'Keefe, Associate Director, Editorial, Pew Forum on Religion & Public Life (2006).

Tantangan itu menjadi berat, sebab selama berpuluh tahun sebelum peristiwa itu, Ahmed berusaha terus menciptakan dialog antarkeyakinan di antara berbagai umat di Inggris. Baginya, kejadian itu menantang karena, tidak seperti di Inggris, Amerika Serikat tidak mempunyai sejarah panjang interaksi dengan dunia muslim. Inggris telah memiliki interaksi semacam itu bersama koloninya di Asia Selatan dan di dunia muslim. Tentu saja, ada negatif-positifnya, tetapi interaksi itu menyimpan banyak kekayaan yang tidak dialami oleh Amerika Serikat.

Ahmed termasuk di antara sarjana yang menolak tesis Samuel Huntington tentang meningkatnya konflik antarperadaban dan bahkan menulis buku yang memuat pandangan yang berlawanan, After Terror: Promoting Dialogue among Civilizations, empat tahun setelah peristiwa 11 September 2001. Ia membantah bahwa serangan Amerika Serikat ke Irak, konflik di Libanon dan retorika anti-Amerika di berbagai tempat sebagai wujud dari konflik antarperadaban.

Konflik itu pernah terjadi berabad-abad yang lampau, yang membuat hubungan Islam dan Barat selanjutnya menjadi sulit. Tetapi, menurut Ahmed, kita juga mempunyai periode harmoni, sintesis budaya, juga interaksi gagasan yang luar biasa --sesuatu yang menjadi sasaran kritik Ahmed kepada Huntington, sebab Huntington melupakan periode ini.

Ahmed mencontohkan, seluruh pemikiran Yunani dari filosof-filosof besar seperti Aristoteles dan Plato, tidak dikenal luas dan terlupakan hingga kaum muslim menerjemahkannya di Spanyol seribu tahun yang lampau dan memungkinkan Eropa menemukan pemikiran itu dalam bahasa Arab, menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin, dan dari Latin ke dalam bahasa Perancis dan kemudian Inggris. Selama berabad-abad proses penemuan-kembali Yunani sampai ke Eropa melalui muslim. Siklus ini selanjutnya memicu Renaisans dan Pencerahan Eropa.

Dalam penilaian Ahmed, ada pula perkembangan mutakhir yang dilupakan Huntington dalam tesisnya, yakni migrasi massal kaum muslim ke Eropa dalam beberapa dekade terakhir. Jutaan muslim kini hidup dan berinteraksi, menjadi warga negara Barat, di Inggris, Jerman, Perancis, dan banyak lagi di negara-negara Eropa lainnya. Di Amerika Serikat saja ada beberapa juta muslim.

"Penyair abad ke-13, Jalaluddin Rumi, yang lahir di Afganistan, adalah penyair yang karyanya paling laku di Amerika Serikat," ujar Ahmed. "Fakta sejarah lainnya: negara pertama di dunia yang mengakui Amerika Serikat ialah Maroko, sebuah negeri muslim. Jadi, yang berlangsung bukanlah sungguh-sungguh suatu perbenturan peradaban. Meskipun ada unsur perbenturan, ada unsur yang lebih besar yakni sintesis, pemahaman, dan dialog yang sporadis."

Unsur terakhir inilah yang kurang dieksplorasi, sehingga yang menonjol adalah pertentangan semata. Ahmed menyebut kelompok sayap kanan dan media di Amerika Serikat setelah 11 September, telah mempopulerkan tesis Huntington. Di seluruh dunia, orang berbicara tentang benturan peradaban. "Benturannya Huntington," kata Ahmed. Namun, bila mau akurat, menurut Ahmed, kita perlu mengakui bahwa Bernard Lewis adalah orang yang lebih dulu mengangkat pandangan ini dan Huntington mengambilnya dari artikel Lewis.

Ia menilai para analis keliru karena telah menyeragamkan kaum muslim. Dalam sebuah wawancara, Ahmed mencontohkan ada muslim yang mengambil model sufi-mistis, seperti Rumi, ada muslim semacam Ali Jinnah yang menyerap nilai-nilai Barat dan ingin mensintensiskannya dengan Islam, ada pula yang ingin menjadi eksklusif dengan menarik batas yang tegas di sekeliling Islam dengan anggapan Islam sedang terancam dan ada dalam bahaya seperti dicontohkan oleh Taliban di Afganistan, tempat kelahiran Rumi.

"Di antara ketiga model ini saja sudah terjadi benturan, konflik, oposisi," kata Ahmed. "Ini realitas yang membumi di dunia Islam hari ini, bukan hanya fenomena 11 September."

Lahir di Allahabad, sebuah kota kecil di tepian Sungai Gangga yang kemudian dikenal sebagai British India, Ahmed adalah seorang antropolog yang menonjol. Ia barangkali salah satu pemikir muslim saat ini yang paling banyak memperoleh apresiasi. Yang mutakhir, setelah menerima Rumi Peace and Dialogue Award pada 2008, ia memperoleh penghargaan Abraham Joshua Herschel-Martin Luther King, Jr. Award for Interfaith Activism pada 2009. Oleh BBC, ia dipandang sebagai "the world's leading authority on contemporary Islam".

Sebagai antropolog, ia memiliki kecakapan yang lebih untuk melihat masyarakat muslim, di antara kaumnya sendiri, maupun dalam hubungannya dengan masyarakat lain, khususnya Barat. Akbar Ahmed menawarkan perspektif yang unik dari seorang antropolog yang hidup dan mempelajari budaya Islam maupun budaya Barat. Karena itulah, ia mencoba menjembatani --dan bukan mempertentangkan--hubungan dua dunia itu, dengan menyusuri kekayaan hubungan di masa lampau dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang baik di masa mendatang.

Dalam Posmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi Islam (Mizan, 1993), Ahmed menyatakan bahwa pada permulaan abad ke-21, konfrontasi antara Islam dan Barat menimbulkan dilema internal bagi keduanya. Ujian bagi muslim adalah bagaimana melestarikan esensi pesan-pesan Al-Quran, tentang adl, ahsan, ilm dan shabr, tanpa mereduksinya menjadi sekadar nyanyian kuno dan kosong dalam zaman kita.

Juga, bagaimana berpartisipasi dalam peradaban global tanpa menghapus identitas mereka. Kaum muslim berada di persimpangan jalan: antara memanfaatkan vitalitas dan komitmen mereka untuk dapat memenuhi tujuan mereka di pentas dunia atau menghamburkan energi mereka melalui perselisihan kecil. [] bersambung bagian 2. Sumber: Ruang Baca Koran Tempo, Edisi 31 Agustus 2009.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar