Minggu, 17 Januari 2010

Berani Susah


Oleh: Eileen Rachman & Sylvina Savitri 
(EXPERD One-day Assessment Centre)


SALAH satu karyawan di kantor saya benar-benar sulit mengontrol pengeluarannya. Ia tidak bisa lepas untuk melakukan gali lubang tutup lubang dalam me-manage hutangnya. Hutang itu mula-mula dipinjam dari sebuah jasa kredit tanpa agunan bank dan berkembang menjadi hutang yang lain, terutama untuk menutupi hutang yang lama. Ketika saya melihat hal itu bisa dilakukan oleh orang yang selama ini saya percaya, teman saya mengatakan bahwa ibu mertuanya juga terbelit hutang dengan cara yang sama. Terkesan bahwa di antara kita sudah banyak kebiasaan mencari solusi yang “ambil gampangnya”, “instan”, dan tidak mau sedikit bersusah mengerem diri.






Saya terkagum-kagum juga dengan cara mendapatkan hutang yang begitu mudah di saat sekarang. Di zaman ketika saya sangat membutuhkan modal atau uang lebih, rasanya tidak mungkin kita bisa dengan mudah mendapatkan pinjaman dari bank atau orang lain, bahkan dengan janji bunga yang relatif rendah. Rupanya perkembangan bisnis jasa sudah demikian pesatnya sehingga masyarakat “dimudahkan” dan “dimanjakan” oleh solusi-solusi sementara, “fast and easy”, instan, yang tidak prinsipil lagi.


Ketidaktegasan dalam berdisiplin dan ketidakjelasan aturan, menyebabkan orang mundur maju menentukan apa yang perlu diperjuangkan. Orang jadi enggan meramal, membuat rancangan, berusaha mati-matian dan menentukan hidupnya, alias pasrah, menghidupkan mental yang lemah, mengharapkan hadiah, berhutang, tidak berdaya, bahkan mengemis dan menumbuhkan mental “tidak berani susah”.


Penyebaran informasi yang tidak memadai mengenai semangat berprofesi, keadaan finansial perusahaan ataupun negara, menyebabkan ketidakjelasan menjadi alasan bagi individu untuk bersikap pasrah dan lemah. Sebaliknya, kita masih bisa menemui sekelompok orang-orang yang sangat produktif, “low profile”, tetap sabar, optimis, dan gigih, dalam lingkungan dengan sikap disiplin kuat. Bisa kita bayangkan betapa beruntungnya orang-orang ini, karena sistem atau organisasi sudah menyuguhkan lingkungan yang kondusif. Bagi kebanyakan kita yang justru berada di lingkungan yang tidak kondusif, kitalah motor penggerak dan perlu “in charge” untuk memperkuat diri sendiri.


Bangkit!
Kita pasti masih ingat bagaimana tim Piala Uber kita dikalahkan oleh tim China. Saya yakin bahwa setiap penonton berbangsa Indonesia, merasa babak belur, dan merasakan sakitnya kekalahan tim kita, yang ranking-nya memang jauh di bawah pemain-pemain China itu. Pada saat itu terasa oleh kita bahwa tim Indonesia“rise and shine”, bermental “A”. Pada saat itu kita merasa siap bermain, tidak takut, ingin meng-“combat” sukses. Bahkan setelah kalah sekalipun, “rasa” itu masih ada. Tidak ada yang memaki tim Piala Uber, tidak ada yang mencerca, semua orang merasakan semangat “fight”-nya. Rasa-rasanya semangat seperti ini sudah harus kita hidupkan kembali, melihat kesulitan dan persaingan yang ada di dunia bisnis maupun di arena global. Semua “hardware” dan perangkat teknis sudah sama, yang bisa bersaing hanyalah manusianya. Bila manusianya berpotensi dan berkompetensi sama, yang bisa disaingkan adalah mentalnya dan “willpower”-nya. berspirit


Perkuat “Willpower”
Sikap “tidak ada matinya” tidak bisa kita biarkan mati suri, karena pada akhirnya hal inilah yang menjadi daya saing bangsa. Kekuatan kemauan atau willpower ini adalah kemampuan individu untuk menyulut mental dan mengatakan pada diri sendiri untuk bertahan, kemudian mengeluarkan daya sekuat tenaga bagaikan mesin yang saat mulai bekerja selalu mengambil daya listrik yang lebih besar. Willpower ini adalah pengumpulan energi yang kuat dan besar, yang perlu dikeluarkan sekaligus pada saat-saat kita berada dalam posisi kritis. Pada saat itu kita menyerang titik lemah dalam diri kita, sehingga kita bisa mematahkan ketakutan, keraguan, kecengengan, kelelahan kita untuk sampai pada titik di mana kita seolah-olah mempunyai ruang energi untuk melenting dan bergerak dan mendapatkan tenaga untuk maju dan ingin memenangkan situasi.


Kita butuh memelihara willpower ini pada masing-masing individu. Begitu banyak tantangan berat kita hadapi yang membutuhkan mental yang superkuat. Kita dihadapkan pada tantangan untuk mengencangkan ikat pinggang karena kenaikan harga, melangsingkan badan karena kesehatan, bersaing secara profesi di kancah internasional, super hati-hati dalam kontrol kualitas, mencermati keadaan keuangan yang ketat, meningkatkan kinerja tanpa kenaikan imbalan yang kita harapkan, menghentikan kebiasaan korupsi berbentuk uang maupun waktu, menghentikan memberikan suap demi sikap mental “yang penting cepat beres”.


Susah” untuk Menang
Kebanyakan orang mendambakan saat-saat di mana kita merasa situasi rileks, aman, positif, dan optimis. Namun, kita sering lupa bahwa perlu cara untuk mencapainya dan kita pun perlu tahu resepnya. Bila kita ingin mencapai situasi yang “nyaman”, tentunya kita tidak bisa berharap bahwa orang lain akan memberikannya secara cuma-cuma.


Untuk mencapai kualits kehidupan yang lebih baik, kita tampaknya tidak bisa berfokus pada hal-hal material semata karena materi justru sekarang tidak bisa ditandingkan. Seperti prinsip para atlet pelari rintangan, “Run to be good, practise to be better, and train to be the best.” Kita perlu mendera diri sendiri untuk menyetop kebiasaan-kebiasaan buruk dan mengembangkan perilaku yang lebih positif. Tentunya latihan ini akan butuh ‘pengorbanan’, seperti tersiksanya kita berjam-jam antre untuk mendapatkan servis dengan jalan halal, begadang demi terselesaikannya pekerjaan yang sudah dijanjikan, bekerja sambil belajar demi karir yang lebih baik, melakukan hal yang sama ribuan kali sampai dianggap kompeten, menerima penugasan yang lebih banyak supaya atasan “percaya”, makan lebih tidak enak demi kesehatan dan penghematan, bahkan kehilangan teman karena kehilangan prinsip. Namun, bersamaan dengan itulah kita berhasil menguatkan willpower kita dan bisa mengembangkan mental tahan banting. Efek samping yang didapat dari latihan begini adalah hilangnya rasa bersalah, tumbuhnya keberanian menghadapi kenyataan, penghargaan pada diri sendiri, dan meningkatnya kepuasan dan happiness dalam kehidupan kita. [] Sumber: Rubrik "Karir”, Kompas, Sabtu, 21 Juni 2008.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar