Selasa, 02 Februari 2010

Belut Goreng Kampung Soeharto


APA yang terkenal dari Kampung Kemusuk, Godean, Yogyakarta? Anda mungkin akan teringat pada tempat kelahiran Soeharto, presiden RI yang berkuasa 32 tahun. O.G. Roeder, penulis biografi Soeharto, Dari Prajurit Sampai Presiden (1969), mencatat Soeharto lahir di Kemusuk, Godean, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, kampung halaman Soeharto itu dikenal sebagai kawasan penghasil belut. Maklum, Kemusuk hingga kini masih dikelilingi sawah menghijau yang menjadi rumah alami jenis belut sawah (Monopterus albus). Tak mengherankan, Pasar Godean, yang terletak sekitar tiga kilometer utara kampung itu pun terkenal sebagai pusat makanan khas belut goreng.


Para penjual belut goreng ini, menurut Kepala Pasar Godean Bambang Sardjono, sudah turun-temurun ada di situ sejak pasar ini berdiri pada 1930-an. Awalnya, kata dia, yang ada cuma pedagang sayur belut. Lantas beberapa warga sekitar ikut menjual belut goreng. "Generasi penerus penjual sayur belut ini tiap malam masih berjualan di depan pasar ini," katanya.

Lambat laun pedagang belut goreng terus bertambah hingga mencapai 25 orang sekarang. Sebagian di antaranya pendatang baru. Eko Purnomo, 27 tahun, misalnya, baru lima tahun berdagang di sini. Kiosnya berderet dengan pedagang belut lainnya di halaman pasar.

Entah, para pembeli pernah mengaitkan belut dengan mantan presiden Soeharto atau tidak. Yang jelas, belut goreng ini cukup laris. Pada hari-hari biasa, Eko misalnya, menjual rata-rata 10 kg belut goreng. Sedangkan hari libur penjualan bisa 20-50 kg. Ibuu Margono, pedagang lainnya, mengaku menjual rata-rata 5-20 kg per hari.

Jadi jika dari 25 pedagang yang ada rata-rata laku 10 kg per hari, dari Pasar Godean ini terjual setidaknya 2,5 kuintal belut goreng tiap harinya. Suatu jumlah yang cukup besar bagi pasar kecil di kota kecamatan. Padahal, Sardjono menjelaskan, ini belum termasuk belut goreng yang dikemas plastik bermerek dan dikirim ke berbagai kota di luar Yogyakarta.

Pantas saja, para pencari belut sawah di sekitar Kemusuk dan Kecamatan Godean kewalahan memenuhi kebutuhan para pedagang belut goreng itu. Alhasil, sebagian besar belut terpaksa dipasok dari Lumajang, Jombang, dan Blitar di Provinsi Jawa Timur. Belut mentah yang masih hidup ini harganya Rp 8-12 ribu per kilogram. "Hanya sebagian kecil belut dari Godean sendiri," ujar Ibu Margono, 38 tahun.

Menurut para pedagang, kebanyakan pembeli belut goreng adalah wisatawan domestik yang ingin membawa oleh-oleh khas dari Yogyakarta. Ini terlihat dari beberapa mobil berpelat nomor luar kota yang mampir di sini. Karena itu, wajar jika penjualan belut goreng meningkat tajam pada masa-masa liburan.

Rasa belut goreng Godean ini renyah dan gurih sehingga sedap disantap langsung maupun untuk lauk-pauk. Selain itu, merujuk data Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, seperti dikutip Hieronymus Budi Santoso dalam Pemeliharaan dan Pembesaran Belut (2005), nilai protein belut tak kalah dari telur. Sementara itu, kandungan mineral dan vitaminnya, terutama fosfor, kalsium, zat besi, dan vitamin A, justru jauh melampaui daging sapi.

Adapun jenis belut goreng yang dijual di Pasar Godean ini setidaknya ada lima. Pertama, jenis belut utuh tanpa tepung. Ini paling mahal, antara Rp 80-90 ribu per kilogram. Lalu belut utuh dengan tepung tipis, Rp 25 ribu per kilogram. Belut yang dibubuhi tepung tebal Rp 20 ribu per kilogram. Harga ini bisa bervariasi antarpedagang dengan selisih Rp 2.000-5.000.

Belut potongan pendek-pendek, entah sengaja dipotong atau tidak, diracik menjadi jenis belut goreng tugelan. Jenis ini sudah dikemas dalam plastik setengah kilogram dan dijual Rp 8.000 per plastik. Terakhir, yang paling murah, jenis remukan. Ini merupakan belut goreng yang remuk lantaran berbagai sebab. Jenis yang juga dikemas dalam plastik tipis ini dijual Rp 2.000 per bungkus.

Lebih jauh Eko menjelaskan, proses pembuatan belut goreng cukup rumit. Sebab, belut mentah harus digoreng dua kali, dengan masing-masing kadar panas minyak berbeda. Lalu tepungnya mesti berasal dari beras kupon, yakni beras jatah dari Bulog yang acap dianggap tak enak bila dibuat nasi.

"Jika kita pakai tepung beras yang baik, hasilnya malah jelek. Tepung akan ada bercak hitam setelah kita goreng," ucap Eko. Jadi orang Bulog boleh bangga, beras mereka justru dipuji di bursa perbelutan ini. [] jarot doso purwanto

Sumber: Koran Tempo, 7 Maret 2005 (http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UFtWAgAPDAVV).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar