Selasa, 02 Februari 2010

Ghadul Bashar, Kala Para Gadis Membuang Muka


BISA jadi orang masih kerap membayangkan Kampus Biru--julukan kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta--sebagai sebuah kampus yang romantis, tempat para mahasiswa bisa pacaran di sela-sela waktu kuliah. Terlebih pernah populer novel karya Ashadi Siregar yang lalu difilmkan yang juga memiliki latar cerita di sini: Cintaku di Kampus Biru.

Namun, jangan harap suasana seperti dalam film itu masih mendominasi keseharian di kampus perguruan tinggi negeri (PTN) tertua di Indonesia ini. Suasana ketika para mahasiswi memakai rok mini dan baju you can see serta dengan enjoy-nya pacaran itu kini makin sulit ditemui.


Yang lazim terlihat belakangan ini malah rombongan para mahasiswi berjilbab besar dan berbaju panjang sampai ke kaki. Di balik baju mirip daster ibu-ibu hamil yang biasa disebut gamis ini, sering masih ada celana katun panjang dan kaus kaki rapat sampai ke betis. Tanpa make up, tanpa minyak wangi. Sebab, keduanya dipandang sebagai tabarruj atau model berhias ala perempuan jahiliyah.

Walhasil, suasana Kampus Biru pun selintas justru mirip pesantren, terlebih di fakultas-fakultas eksakta seperti kedokteran umum, farmasi, atau matematika dan ilmu pengetahuan alam. Para "jilbaber" besar tadi biasa menganggap angin lalu para mahasiswa yang berani coba-coba "caper" alias cari perhatian. Malah, tak jarang mereka secara demonstratif membuang muka kala berpapasan dengan teman kuliah dari jenis kelamin berbeda.

Apakah mereka lesbian? Hus, tentu saja bukan! Ghadul bashar alias menundukkan pandangan atau biasa disingkat GB, itulah yang tengah mereka lakukan. Rata-rata mereka memang antipacaran. Mereka memakai media ta'aruf atau perkenalan singkat dengan perantara senior untuk menemukan jodoh.

Jadi, jangankan pacaran, buat sekadar mengobrol dengan mereka pun sulit, terutama jika kita berlainan jenis dan bukan saudara dekat (mahram atau muhrim) pula. Kalaupun merasa perlu bicara dengan lawan jenis, mereka akan menghindari kondisi berduaan saja (khalwat), meski hal itu berlangsung di ruang terbuka macam taman atau emperan kampus.

"Saya berusaha tidak berduaan dengan lawan jenis untuk menghindari prasangka buruk atau fitnah," kata Aini Firdaus, mahasiswi berjilbab besar dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Alasan serupa biasanya juga dikemukakan para mahasiswi berjilbab besar lainnya.

Maka, bila terpaksa harus bicara dengan kaum Adam nonmuhrim, mereka akan minta ditemani salah satu teman perempuan sehingga tidak bicara empat mata. Selain mencegah fitnah, seperti kata Aini, mereka berbuat begitu juga demi menuruti hadis Nabi yang mengatakan bahwa jika seseorang bicara berduaan dengan lawan jenis nonmuhrim, maka setanlah yang menjadi pihak ketiga.

Hanya ada dua kemungkinan para mahasiswi berpenampilan seperti digambarkan tadi: mereka anggota komunitas Jemaah Tarbiyah atau Hizbut Tahrir (HT). Tarbiyah di kalangan mahasiswa secara formal memiliki organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang berdiri pada 1998. Namun, hanya dalam hitungan tahun, organisasi belia ini langsung mendominasi hampir semua struktur lembaga intrakampus PTN terkemuka di Tanah Air, termasuk UGM. Ia mengalahkan organisasi tua macam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Ia juga mampu menghadirkan ribuan bahkan puluhan ribu anggotanya saat unjuk rasa.

Komunitas Tarbiyah ini punya hubungan aspiratif dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Para ustadz atau murabbi (guru mengaji) mereka lazimnya juga aktivis PKS. Sementara itu, HT yang arti harfiahnya Partai Pembebasan ialah sebuah partai internasional yang berdiri pada 1953 di Yerusalem. HT mencita-citakan berdirinya kembali sistem kekhalifahan Islam.

Para pemakai jilbab besar itu lazim memanggil ukhti, yakni sebuah kata Arab yang berarti saudara perempuan, kepada kawan wanitanya yang rata-rata berpenampilan serupa. Kadang-kadang juga anti (kamu, untuk perempuan). Sedangkan teman laki-laki dipanggil akhi (kamu, pria), atau antum (kamu jamak, pria), atau pak. Mereka menghindari menyebut mas (kakak) kepada mahasiswa pria. Sebab, kata mas dianggap terlalu mesra dan karena itu dalam taraf tertentu dinilai bermuatan syahwat.

"Panggilan mas hanya untuk suami," tutur Nurhilmiyah, pemakai jilbab besar yang baru lulus dari Fakultas Hukum UGM. Di luar suami, konon hanya saudara atau muhrim yang layak disebut mas. [] jarot doso purwanto

Sumber: Koran Tempo, Senin, 31 January 2005
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar