Selasa, 02 Februari 2010

Penghuni Penjara Itu Berkeliaran di Jalanan


PULUHAN pasang mata memandangi lelaki bertampang sangar itu. Maklum, di belakang kaus hitamnya tampak jelas bertulisan "Tahanan 707 LP Cipinang". Namun, anak muda itu tak tampak terburu-buru melewati keramaian jalanan Malioboro, Yogyakarta. Sepeda motor yang ia naiki juga berjalan pelan.

Apakah anak muda tadi memang pelarian dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang? Ternyata bukan. Ia cuma salah satu pemuda iseng di Yogyakarta. Setelah era kaus lucu Dagadu, anak-anak muda di Kota Pelajar kini suka mengenakan kaus mbeling mirip seragam penghuni rumah tahanan itu.


Awalnya, sejumlah pengendara sepeda motor mengaku heran saat melihat ada orang memakai kaus "seragam penghuni rutan" bebas berkeliaran di jalan. Namun, setelah mengetahui hal itu cuma ulah pemuda iseng, mereka hanya bisa tersenyum saat berpapasan di jalan.

Selain tulisan penghuni rutan, ada anak muda yang memilih kaus lebih "sangar", yakni "Vonis Mati 100809-234". Remaja lain memakai kaus "Tahanan Polda", "Vodka, Connecting People", atau "Penghuni RSJ Pakem".

"Vodka, Connecting People" adalah plesetan slogan "Nokia, Connecting People". Sedangkan RSJ Pakem adalah sebuah rumah sakit jiwa yang terletak di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Kaus semacam itu kini banyak ditawarkan pedagang kakilima di kawasan Malioboro. Ternyata cukup laris. Pembelinya selain anak muda setempat juga anak-anak sekolah dari luar kota yang sedang piknik ke Yogyakarta. "Rata-rata sehari bisa laku 20-an kaus pas liburan sekolah," tutur Sutardi, 29 tahun.

Sutardi merupakan salah satu pencetus ide untuk memproduksi kaus-kaus "seram" itu. "Semula saya membuat kaus 'Pasien RSJ' untuk dipakai sendiri. Iseng saja. Tapi ternyata ada teman yang tertarik dan lalu memesan. Lama-lama, karena banyak yang pesan, akhirnya saya buat dalam jumlah besar untuk diperjualbelikan," kata pemilik Kios Kaos Kewex di belakang Hotel Garuda, Jalan Malioboro, Yogyakarta.

Sampai sekarang, Sutardi sudah membuat sepuluh desain kaus semacam itu. Beberapa kaus bertulisan cukup vulgar, misalnya "Alcoholic is not criminal", "Penjahat Kelamin", atau "Sarkem Pusat Jajan (Khusus Dewasa) Khas Jogja". Sarkem--alias Pasar Kembang--adalah kompleks pelacuran ilegal di belakang pertokoan Maliboro, persis di selatan Stasiun Kereta Api Tugu, Yogyakarta.

Menurut Sutardi, respons masyarakat ketika membeli atau membaca pesan yang tercetak di kausnya paling hanya heran, lalu tertawa. "Masak, ada pasien rumah sakit jiwa jalan-jalan," katanya, terkekeh.

Sejauh ini, Sutardi mengaku belum mendapat teguran dari polisi atau aparat berwenang akibat pesan-pesan yang tertulis di kaus-kaus produksinya. Malah, kata dia, tak sedikit aparat keamanan yang ikut memesan kaus darinya. "Tapi biasanya aparat memesan kaus dengan tulisan 'Buronan Mertua', bukan 'Penghuni LP' atau 'Tahanan Polda'," kata pria lulusan SMA ini.

Seperti nasib kaus Dagadu, karena laris, model kaus mbeling ini pun dijiplak para pengusaha kaus "aspal" di seputar Pasar Ngasem, Yogyakarta. Jika kaus produksi Sutardi dijual Rp 25-30 ribu per buah, para penjiplak cukup menjual seharga Rp 12 ribu dengan bahan lebih tipis. Belakangan, para penjiplak ikut menciptakan puluhan desain sendiri yang tak jauh beda dengan desain Sutardi.

Praktisi budaya Bambang Paningron mengatakan, fenomena kaus mbeling seperti dibuat Sutardi sebenarnya sudah agak lama muncul di Yogyakarta. Ia menilai, munculnya model kaus demikian erat kaitannya dengan persoalan krisis identitas yang menimpa sebagian anak-anak muda.

Ketua Bidang Seni, Dewan Budaya Yogyakarta, ini menilai bahwa munculnya kaus ala "Pasien RSJ" menunjukkan rendahnya daya kreatif pembuatnya. Sebab, mereka sekadar memindahkan desain seragam penghuni rutan atau rumah sakit jiwa menjadi desain kausnya. "Itu jelas berbeda dengan fenomena kaus Dagadu. Mereka itu kreatif, desain-desain kaus Dagadu membutuhkan kreativitas untuk membuatnya," kata Bambang, yang juga produsen kaus etnik dengan merek Jaran.

Karena keterbatasan intelektual, kata Bambang, pembuat kaus "seram" tak memikirkan lebih jauh dampak perbuatannya bagi masyarakat. Ia juga khawatir, kaus seperti "Tahanan LP Cipinang" bisa menimbulkan salah paham dengan masyarakat, yang tak mustahil mengira pemakainya betul-betul pelarian dari penjara.[] jarot doso purwanto

Sumber: Koran Tempo, Senin, 7 February 2005.
(http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=BQRSAFQDXFAL).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar