Selasa, 02 Februari 2010

Menggoreng Salak ala Haji Murtadho


SEBENTAR-SEBENTAR Murtadho beranjak ke ruang belakang rumahnya. Ia acap meninggalkan tamunya sendirian di ruang depan rumahnya yang asri dan bersih di tengah hamparan kebun salak, di Desa Sucen, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Maklum, sarjana hukum dari Universitas Darul Ulum, Jombang, ini 10 menit sekali mesti mengaduk salak yang digorengnya dalam wadah hampa udara (vacuum frying). Suhu wajan lonjong seukuran semeter di atas kompor gas itu harus dijaganya agar tak melewati 80 derajat Celsius. Sebab, menurut lelaki 41 tahun ini, jika suhu lebih tinggi, bakal mengubah aroma dan rasa salak nglumut, yang dikenal harum dan manis.



Setelah digoreng selama satu jam, daging salak pun matang dan menjadi keripik salak yang legit dan renyah. Keripik tadi lalu dimasukkan plastik dengan merek Krisna. "Rasa keripik salak ini semata-mata bergantung pada rasa salaknya. Jika salaknya manis, keripiknya ya manis. Jika salaknya sepet (asam), keripiknya juga sepet. Sebab, selain minyak goreng, kami tak memakai bahan apa pun, baik pengawet maupun bumbu," ucap Murtadho yang sehari-hari hanya menjadi petani salak.

Faizin, Ketua Asosiasi Kelompok Tani Salak Nglumut Magelang, menjelaskan, salak nglumut adalah varietas salak pondoh yang semula dikembangkan Haji Marlan di Desa Nglumut, Srumbung, Magelang--kini menjadi penasihat asosiasi ini. Menurut Faizin, salak ini punya beberapa ciri khas. Antara lain ukuran buah lebih besar, daging dan kulitnya akan kekuningan bila masak, dan bentuk buah lebih lonjong ketimbang salak pondoh biasa.

"Di kalangan petani salak Sleman, Yogyakarta, salak nglumut biasa disebut salak pondoh super. Harganya lebih mahal Rp 1.000-1.500 dibanding salak pondoh biasa. Apalagi salak ini sudah diakui sebagai jenis unggul dengan surat keputusan Menteri Pertanian pada 1993," tutur Faizin, 47 tahun.

Aktivitas menggoreng salak yang berlangsung sejak dua bulan terakhir ini bermula dari keprihatinan Faizin, Murtadho, dan kawan-kawan. Pasalnya, saat harga melonjak, rezeki dari salak memang lumayan. Bahkan bisa mengongkosi petani kecil seperti Murtadho naik haji. Tapi hal itu cuma berlangsung tiga bulan, dari Agustus sampai Oktober, saat produksi buah salak rendah.

Sebaliknya, pas panen raya, bulan November sampai Maret, harga salak justru anjlok. "Dari harga Rp 8.000-9.000 per kilogram bisa menjadi Rp 2.500-3.000 per kilogram," kata Faizin saat ditemui di rumah sekaligus kantor asosiasinya di Desa Krakitan, Salam, Magelang--21 kilometer arah utara kota Yogyakarta.

Alhasil, pembuatan keripik salak menjadi salah satu upaya para petani di lereng barat Gunung Merapi ini untuk menyelamatkan komoditas salak pada masa panen raya. Menyimpan salak di gudang dan menjualnya ketika harga naik nyaris tak mungkin. Sebab, menurut Faizin, buah salak hanya tahan disimpan seminggu. Lebih dari seminggu akan membusuk.

Sementara itu, jika dibuat keripik, buah salak yang tengah jatuh harganya malah punya nilai tambah. Sebab, keripik laku dijual Rp 7.000 per ons (100 gr) atau Rp 70 ribu per kg. Sedangkan untuk mendapat satu kilogram keripik butuh 10 kg salak seharga Rp 30 ribu (dengan harga salak di tingkat petani Rp 3.000 per kg). "Keripik salak juga awet hingga 4 bulan. Bahkan, bila dibungkus aluminum foil, bisa tahan hingga setahun," tutur Murtadho yang juga Sekretaris Asosiasi Kelompok Tani Salak Nglumut ini.

Sayangnya, kapasitas mesin penggorengan tadi baru mampu mengolah 10 kg salak per jam. Sehingga, menurut Faizin, perlu satu mesin sejenis bagi tiap kelompok tani agar bisa menyerap sebesar-besarnya salak sewaktu harga jatuh. Sebaliknya, jika harga salak membaik, kata dia, mesin bisa untuk membuat keripik nanas, pepaya, atau nangka.

Masalahnya, para petani kesulitan modal untuk pengadaan peranti ini. Sebab, untuk membeli seperangkat mesin penggorengan lengkap, butuh dana Rp 31 juta. Sedangkan mesin yang dikelola Murtadho pun diperoleh dari dana pinjaman Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah yang harus dicicil selama lima tahun.

Karena itu, Faizin berharap, Pemerintah Kabupaten Magelang mau mengusahakan kredit berbunga ringan untuk pengadaan mesin penggorengan itu. Faizin kecewa, karena perhatian pemerintah kabupaten sangat minim terhadap asosiasinya. Padahal ada 200-an petani salak nglumut yang tergabung dalam asosiasi yang berdiri 2002 ini. Mereka terbagi dalam 21 kelompok tani dari 31 desa di Kecamatan Salam, Srumbung, dan Dukun. [] jarot doso purwanto.

Sumber berita - www.korantempo.com/news/2005/4/16/Nusa/40.html
(Koran Tempo, Sabtu, 16 April 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar